Sejarah Warnet di Indonesia
Membicarakan Warnet (Warung Internet) tidak akan lepas dengan internet yang menjadi fondasi utamanya. Internet diciptakan pertama kali pada tahun 60-an akhir. Sejak saat itu internet digunakan di mana-mana, termasuk salah satunya di Indonesia.
Sejarah internet dan warnet pertama di Indonesia
Berdasarkan catatan whois ARIN dan APNIC, protokol Internet (IP) pertama dari Indonesia, UI-NETLAB (192.41.206/24) didaftarkan oleh Universitas Indonesia pada 24 Juni 1988. RMS Ibrahim, Suryono Adisoemarta, Muhammad Ihsan, Robby Soebiakto, Putu, Firman Siregar, Adi Indrayanto, dan Onno W. Purbo merupakan beberapa nama-nama pada awal pembangunan Internet Indonesia sekitar tahun 1992 hingga 1994.
Nama Michael Sunggiardi muncul dalam sejarah warnet di Indonesia, dia adalah salah satu pionir pendiri warnet pertama di Indonesia. Pada 1995, ia mendirikan “BoNet” di Bogor. Warnet tersebut mendompleng tempat di Cafe Botanicus yang sekarang menjadi Cafe Dedaunan. Kala itu, Michael iseng menyediakan dua komputer untuk diakses gratis. Kebetulan, kafe yang terletak di tengah Kebun Raya Bogor tersebut digandrungi turis mancanegara.
Melihat antusiasme pengguna internet di Cafe Botanicus, Michael mengambil peluang. Ia mendirikan warnet BoNet yang terpisah dari Cafe Botanicus, yakni di Jalan Raya Pajajaran 88 F, Bogor. Di sana, peminat akses internet bertambah banyak. Prospek bisnis warnet akhirnya dilirik investor. Usai krisis ekonomi 1998, banyak pegawai mendapat pesangon dari perusahaan yang gulung tikar. Beberapa di antaranya memutuskan membangun warnet.
Wargame sebelum warnet
Di medio 90-an, sebelum warnet berkembang, para gamer terlebih dahulu menikmati apa yang disebut sebagai wargame (warung game). Berbekal game Counter-Strike 1.3, Command and Conquer: Red Alert 2, Age of Empires 2, dan beberapa game lainnya, banyak pengusaha yang mendirikan lan party atau wargame sebagai alternatif rental PlayStation yang saat itu juga menjamur.
Tidak ada internet, yang ada hanya suara tembakan dan “Fire in the hole!” yang memekakan telinga. Waktu itu wargame dipatok dengan harga yang lebih murah ketimbang warnet. Wargame hanya Rp10.000,- hingga Rp5000,-, sementara warnet berada di Rp10.000,- hingga Rp15.000,-. Di beberapa daerah di luar Jakarta, harga bisa meningkat berkali-kali lipat.
Era wargame berakhir ketika Indonesia dibanjiri berbagai game online yang saat itu dibawa pertama kali oleh BolehNet ke Indonesia. Salah satu judul yang mereka bawa adalah Nexia: The Kingdom of The Winds.
Warnet di Era Ragnarok
Walaupun jadi yang pertama, tetapi Nexia tidak memiliki power yang cukup untuk membangkitkan bisnis internet di Indonesia. Game yang bisa membangkitkan industri game adalah Ragnarok Online (2003) yang datang dari PT LYTO Datarindo Fortuna.
Berkat game ini, banyak Wargame yang memasang internet untuk bisa mengakses Ragnarok Online. Apalagi saat itu LYTO tidak terlalu terburu-buru untuk menjalankan pola subscription fee yang mereka gunakan hingga 10 tahun ke depan. Mereka menunggu kurang lebih satu tahun untuk memastikan bahwa semua wargame sudah terkonversi ke warnet dan jumlah warnet sudah memadai di Indonesia.
Saat Ragnarok Online booming, banyak sekali perusahaan yang berusaha terjun ke industri game di Indonesia. Dalam setahun kita bisa melihat ada 6 judul game yang dirilis bersamaan. Jumlah tersebut terbilang kecil bila dibandingkan dengan Korea Selatan yang saat itu menjadi tolok ukur industri game online di Indonesia. Mr. Andi Suryanto sebagai CEO LYTO pernah berseloroh kalau di Korea Selatan, ada dua game online baru di setiap harinya.
Di Indonesia sendiri, rekor peluncuran game terbanyak berada di tahun 2013. Saat itu dalam satu tahun adalah 46 judul baru yang diluncurkan. Beberapa judul tersebut memiliki format aplikasi penuh, sementara beberapa sisanya adalah web online.
Pergeseran ke Point Blank
Lima tahun melenggang tanpa ada perlawanan berarti, LYTO meluncurkan beberapa game yang cukup hits. Mulai dari Seal Online hingga RF Online. Kedua game tersebut cukup terkenal, tetapi belum bisa melambungkan industri warnet ke titik yang lebih tinggi.
Lonjakan berikutnya datang di tahun 2008. PT. Kreon dengan Gemscoolnya, meluncurkan Point Blank. Game ini kembali mengangkat dunia warnet ke posisi yang lebih tinggi lagi dari sebelumnya. Dengan genre FPS yang jauh lebih mudah diterima dan tidak menghabiskan banyak waktu dan komitmen, membuat semua orang berbondong-bondong ke warnet.
Hal ini juga menyebabkan industri warnet kembali menggeliat dengan cepat. Banyak sekali warnet baru bermunculan, bahkan di dalam gang kecil sekalipun. Efek tidak langsung dari pertumbuhan warnet ini adalah persaingan harga. Pada titik terendahnya, harga sewa warnet bisa tembus Rp2000,- atau bahkan lebih rendah.
Efek dari perang harga ini membuat beberapa pemain warnet kecil terpuruk dan tidak bisa melanjutkan usahanya. Sehingga pada tahun 2012 hingga 2018, hanya tersisa pemain warnet besar dan sedang. Para pengusaha warnet kecil banyak yang tidak melanjutkan usahanya atau memutuskan membuka warnet kecil di pinggir kota atau di rumahnya sendiri.
Era pra-esports dan mobile
Tahun 2013 selalu menjadi tahun yang dikenang oleh banyak orang. Pada tahun tersebut DOTA 2 diluncurkan oleh Valve di Steam. Hal ini membuka lembaran baru bagi para pengusaha warnet yang masih bertahan.
Pertama, mereka harus kembali melakukan update pada komputer yang mereka miliki. Yang kedua adalah, esports mulai dilirik oleh pemain kasual yang sebelumnya tidak tertarik pada FPS atau MOBA. Itu artinya adalah pelanggan baru yang lahir dengan dirilisnya DOTA 2 di Steam. Apalagi DOTA 2 dibuat gratis tanpa harus membeli gamenya.
Sebenarnya esports FPS dan MOBA sudah eksis di era CS1.3 dan DOTA, tetapi saat itu hanya beberapa warnet saja yang masih menggunakan game tersebut sebagai daya tarik utama. Sementara warnet lainnya lebih memilih Point Blank yang lebih murah dan ramai. Walaupun pada akhirnya Point Blank memiliki liganya sendiri, tetapi liga tersebut sangat terbatas dan tidak bisa disandingkan dengan CSGO dan DOTA 2.
Pada era ini para pemilik warnet kembali mendapatkan tekanan baru. Kali ini tekanannya datang dari perusahaan multinasional. Berkat kesuksesan esports, para perusahaan multinasional yang memiliki modal besar memutuskan melebarkan sayapnya ke Indonesia. Hasilnya kita mendapatkan beberapa warnet yang berasal dari perusahaan asing.
Pada saat yang bersamaan industri mobile gaming mulai menggeliat juga berkat keberadaan Let’s Get Rich dan Vainglory.
Warnet di era game mobile
Vainglory sama dengan Nexia, walaupun jadi yang pertama, tetapi sejatinya tidak cukup kuat untuk melambungkan industri esports di Indonesia. Esports baru benar-benar naik daun ketika Mobile Legends mulai diterima di pasaran.
Game yang dirilis oleh Moonton di tahun 2016 ini menjadi hits ketika dimainkan oleh beberapa orang influencer YouTube. Sejak game mobile menjadi hits, kondisi warnet tidak pernah sama lagi dengan zaman dahulu. Banyak warnet-warnet besar yang bergeser fungsinya menjadi warnet esports atau iCaffe yang menyediakan ruangan khusus untuk menyelenggarakan turnamen.
Bahkan beberapa warnet besar menyediakan tempat bermain khusus full wifi yang membolehkan orang untuk memainkan game mobile di tempat, dengan menggunakan gawainya masing-masing. Langkah ini kemudian ditiru beberapa warnet sedang dan kecil dengan cara memasangkan emulator di PC mereka.
Pada era game mobile, ini warnet mulai semakin redup dan kehilangan pamornya sebagai tempat bermain yang murah dan menyenangkan. Generasi baru yang mulai bermain game juga lebih tertarik dengan game-game yang ada di gawai pintar. Karena bermain di gawai pintar cenderung lebih murah dan tidak perlu keluar rumah, sehingga lebih mudah mendapakan izin orang tua.
Warnet di era pandemi
Tergusur oleh gawai pintar bukanlah hal yang mematikan industri warnet sepenuhnya. Pandemi yang terjadi di tahun 2020 lah yang menjadi pukulan telak bagi industri warnet di Indonesia. Kebanyakan warnet tidak boleh difungsikan selama setahun lebih. Hasilnya banyak warnet yang gulung tikar, tidak peduli apakah itu warnet besar, sedang, atau kecil. Bahkan warnet asing yang memiliki modal besar saja tidak sanggup bertahan di Indonesia.
Sampai detik ini belum ada terobosan baru di dunia warnet. Bisa dibilang industri warnet sedang mengalami mati suri. Sama seperti industri esports di tahun 2010 hingga 2014. Walaupun pada kenyataannya masih banyak yang bertahan, meskipun tidak sebesar dulu.
Mungkin kita harus menunggu perkembangan dunia hiburan digital berikutnya. Sehingga dari situ munculah “warung-warung” baru dengan konsep yang belum ada sebelumnya. Bisa saja Warung VR, Warung Meta atau Warung-warung lainnya. Who knows! Yang jelas hal itu akan menjadi sesuatu yang menarik untuk dibahas lebih dalam.