Pemilik EVOS Esports: Membangun Organisasi Esports Adalah Pekerjaan yang Sulit
Beberapa tahun terakhir ini, Indonesia mulai kedatangan tim-tim esports yang seiring waktu terlihat semakin profesional dan dipoles. Tim-tim esports besar di Indonesia sekarang bukan lagi sekedar “lima anak warnet yang jago main game”. Banyak yang datang dan bertanding menggunakan jersey tim, mendapatkan sponsor, serta terlibat dalam berbagai hal non-turnamen seperti live streaming atau meet and greet.
Namun meskipun terlihat keren dan menguntungkan, mendirikan sebuah tim esports yang solid bukanlah hal yang mudah. Kamu tidak begitu saja langsung populer begitu memiliki lima pemain untuk satu turnamen Dota 2. Menjuarai sebuah turnamen juga tidak selamanya menjamin kamu akan mendapatkan sponsor besar. Padahal di saat yang sama, kamu harus mengeluarkan biaya operasional tim dan biaya lainnya. Jadi, jangan kaget jika selama ini kita sering melihat tim yang awalnya terlihat menjanjikan, namun menghilang kurang dari satu tahun kemudian.
Pertanyaan besarnya adalah, sesulit apa sih mendirikan dan mengembangkan sebuah organisasi dan tim esports? Lalu apa yang sebenarnya menjadi faktor sukses sebuah organisasi esports dalam jangka panjang?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami mewawancarai Ivan Yeo, CEO dan pemilik EVOS Esports. Jika kamu mengikut scene esports Indonesia, kamu harusnya tahu bahwa EVOS Esports adalah salah satu organisasi esports yang cukup terkenal di Indonesia. Tidak cuma itu, selain Dota 2 di Indonesia, mereka juga sudah melakukan ekspansi ke game dan negara lain di Asia Tenggara.
Dalam wawancaran ini, Ivan menjelaskan apa saja yang harus diperhatikan agar sebuah organisasi esports bisa menjadi bisnis yang sukses dalam jangka panjang, dan bagaimana EVOS Esports menerapkannya selama ini. Tidak cuma itu, ia juga sempat menceritakan bagaimana EVOS pertama kali berdiri dan alasan di balik ekspansi yang ia lakukan.
Berawal dari EO Turnamen ke Zero Latitude
Ivan sang pemilik EVOS Esports sendiri sebenarnya bukan seorang yang berasal dari ranah esports. Ia berasal dari Singapura, dan bekerja di YSS Capital, sebuah VC atau venture capital alias pemberi modal usaha untuk untuk perusahaan lain, khususnya startup.
Namun ia sendiri memang sangat menyukai esports. “Sejak sekitar 10 tahun yang lalu, saya selalu mengamati industri esports dan melihat perkembangannya. Barulah sekitar tiga tahun yang lalu saya memutuskan bahwa inilah saatnya untuk masuk ke industri ini,” ia menjelaskan.
Sebagai target pertamanya, ia langsung melirik ke Indonesia. “Indonesia punya basis pemain yang besar, namun ranah esports negara ini masih kurang profesional. Karena itu, kami merasa di sinilah kami bisa memberikan dampak paling besar,” ujarnya. Selain itu, ia juga merasa persaingan di Indonesia masing sangat minim, sementara jika terjun ke negara lain seperti Filipina ia harus langsung beradu dengan nama besar seperti Mineski atau TNC.
Game yang dipilih sebagai fokus utama? Dota 2 tentunya yang memang punya jumlah pemain yang sangat besar di Indonesia, serta memiliki scene esports yang sangat besar secara global.
Upaya pertamanya di industri ini adalah dengan AES Games, sebuah organisasi yang salah satu fokusnya adalah mengadakan turnamen esports di level Asia Tenggara termasuk Indonesia. Ide ini berangkat dari anggapan Ivan bahwa menjadi EO adalah cara terbaik untuk mengembangkan ranah esports lokal sambil tetap mendapatkan profit. Namun seiring berjalannya waktu, hasilnya tidak seperti yang ia inginkan.
“Masalah di industri esports di Indonesia sebenarnya lebih ke masalah telur dan ayam. Yang mana yang benar, apakah EO/turnamen yang bagus/profesional akan membentuk tim yang profesional, atau sebaliknya, tim yang profesional akan memaksa EO menciptakan event/tim yang profesional juga,” jelasnya. Karena merasa AES Games tidak akan membuahkan hasil dan dampak yang signifikan, ia akhirnya memutuskan untuk mendirikan tim profesional.
Untuk mencari tim pertamanya, ia memberikan hadiah tambahan di turnamen AES Summer S1. Selain mendapatkan hadiah uang seperti biasa, tim yang keluar sebagai juara juga berhak mendapatkan sponsorship. Turnamen tersebut akhirnya dimenangkan oleh Rex Regum Qeon (RRQ), sementara Kanaya Gaming mendapatkan juara kedua dan Majapahit juara ketiga.
Sayangnya, baik RRQ dan Kanaya Gaming sama-sama sudah memiliki sponsor, sehingga mereka menolak tawaran sponsor dari Ivan. Untungnya, Tribekti yang saat itu mengelola Majapahit (yang dulu bernama Zero Latitude) tertarik dengan tawaran tersebut dan menghubungi sang pemilik EVOS ini. Dari situlah ia kemudian mengakuisisi Majapahit menjadi EVOS Esports.
Bootstrapping dan Mengincar Sustainability
Ivan mengatakan bahwa Indonesia sebenarnya punya banyak tim esports yang bagus dan menjanjikan. Namun tidak banyak yang benar-benar profesional serta bisa bertahan lama. “Banyak tim di Indonesia yang tidak bisa bertahan lebih dari setahun. Jadi jika timmu bisa bertahan lebih dari setahun, segala sesuatunya akan menjadi lebih mudah,” jelasnya.
Namun kecenderungan itu juga bukan tanpa alasan. Ivan sebagai pemilik EVOS Esportsmengakui bahwa mengembangkan sebuah organisasi eports adalah pekerjaan dan bisnis yang berat. Kamu harus bisa memperlihatkan bahwa organisasi atau timmu punya kebolehan atau bahkan yang terbaik di satu bidang/game. Jika tidak, maka tidak akan ada orang yang mau melirik.
Sejak pertama kali berdiri, EVOS Esports sendiri juga harus bekerja keras agar bisa sampai seperti sekarang ini. EVOS tidak memiliki modal awal yang besar, sehingga mereka tetap harus bootstrapping, alias beroperasi dengan apa yang mereka punya. Artinya untuk mengecilkan biaya, beberapa pekerjaan seperti mengurus media sosial serta konten masih dilakukan sendiri.
Ivan juga sadar bahwa mengembangkan sebuah organisasi dan brand esports memerlukan waktu yang tidak sebentar. Ia juga tidak ingin menuai sukses sesaat namun tidak mempertahankannya. “Sejak awal kami tahu bahwa kunci sukses kami adalah sustainability. Karena itulah sejak pertama kali mengakuisisi roster Dota 2, kami tidak mengincar maju ke TI7, tapi TI8,9, dan 10,” ujar Ivan.
Hingga saat ini, organisasi EVOS Esports sudah berkembang tidak hanya dari segi roster kompetitif, tapi juga tim di balik layar. Ivan selaku pemilik EVOS mengatakan bahwa sekarang ini EVOS punya enam orang staf full time serta beberapa staf part time yang mengerjakan berbagai hal seperti manajemen tim, marketing, media sosial, dan konten.
Jangan Melupakan Viewership dan Exposure
Yup, selain manajemen tim, salah satu tugas staf EVOS Esports di balik layar adalah menangani urusan marketing, media sosial, dan konten. Memang, salah satu pekerjaan utama sebuah organisasi atau tim esports adalah mengikut turnamen dan berusaha menjuarainya. Dari situ mereka akan mendapatkan hadiah uang yang akan membantu mereka bertahan hidup.
Namun uang hadiah dari turnamen tidak akan cukup untuk membuat sebuah organisasi esports bertahan dalam jangka panjang. Prestasi adalah hal yang bagus, namun itu bukan satu-satunya jalan untuk dan tujuan akhir sebuah orgasnisasi esports.
Ivan mengatakan bahwa profit dari sebuah organisasi esports ditentukan oleh viewership dan exposure. Itu artinya seberapa sering nama organisasi tersebut muncul dan dilihat di ruang publik seperti internet, media sosial, dan event, serta seberapa besar jumlah dan keaktifan fans untuk terlibat atau memperhatikan aktivitas yang dicanangkan oleh sang organisasi.
Jumlah fans, viewership, dan exposure organisasi inilah yang menjadi daya tarik para sponsor yang ingin mendanai mereka. Semakin besar jumlah fans, semakin banyak pula orang yang akan melihat segala sesuatu yang ditampilkan oleh organisasi, baik itu konten dari organisasi itu sendiri ataupun konten dari sponsor.
Karena itulah Ivan sebagai CEO dan pemilik EVOS Esports tidak hanya fokus pada turnamen saja untuk mengembangkan fanbase EVOS. “Kami tidak akan bisa terus menerus menjadi juara. Karena itu kami melihat prestasi di turnamen sebagai sebuah bonus dan bukan faktor utama dalam mengukur kesuksesan,” tukasnya.
Selain turnamen, Ivan menganggap bahwa pembuatan konten serta distribusi konten yang tepat adalah faktor yang penting untuk meningkatkan fanbase. Namun ia juga menambahkan bahwa selain membuat konten, sebuah organisasi esports juga harus memperhatikan distribusi konten tersebut.
“Jika kamu ingin membuat konten berkualitas, kamu harus memastikan bahwa konten tersebut didistribusikan dengan baik sehingga orang-orang bisa dan berkesempatan untuk menigkmati konten yang kamu buat. Karena itu jumlah fans di fan page, engagement, dan follower Instagram adalah angka yang penting,” Ivan menjelaskan.
Namun EVOS tidak sekedar berhenti di pembuatan dan distribusi konten di Facebook, Instagram, video, serta live streaming. Ia juga memastikan bahwa EVOS selalu berusaha terlibat dengan fans secara langsung, misalnya dengan membalas pesan dan komentar di Facebook dan Instagram.
Mereka juga mencoba melibatkan fans mereka lebih dari itu. Ia menceritakan bahwa logo EVOS yang baru saat ini adalah hasil karya dari fans mereka. “Kami memutuskan untuk menggunakan logo itu karena fans kami suka, dan logo itu sendiri dibuat oleh fans,” jelasnya.
Ia juga menambahkan, “dalam bisnis, justru hal-hal yang tidak bisa dikembangkan seperti engagement ini yang akan membantu menghasilkan keuntungan. […] Tidak cuma itu, kami juga sadar bahwa EVOS bukanlah apa-apa tanpa fans.”
Melakukan Ekspansi ke Game dan Negara Lain
Hingga hari ini, EVOS sudah memiliki tiga tim di tiga negara terpisah, yaitu Dota 2 dan Arena of Valor di Indonesia, Hearthstone di Singapura, dan League of Legends di Vietnam. Ekspansi ini, meskipun terjadi dengan sangat cepat, bukan tanpa pertimbangan.
“Ketika memutuskan untuk melakukan ekspansi, basis pemain serta viewership esports di negara tersebut harus besar dan kuat. Jika tidak, sponsor dan pengiklan tidak akan tertarik untuk bekerja sama dengan kami,” ujarnya. Itulah salah satu alasan mengapa Ivan sebagai CEO dan pemilik EVOS Esports memutuskan membentuk roster League of Legends di Vietnam, negara yang bisa dibilang punya scene League of Legends paling kuat di Asia Tenggara saat ini.
Selain itu, Ivan juga ingin memastikan bahwa game tersebut memang didukung oleh publisher atau developer itu sendiri. “Jika publisher tidak mau berinvestasi ke scene esports game miliknya sendiri, kami jadi tidak punya alasan untuk masuk ke game tersebut,” tambahnya.
Love The Game
Seperti yang ia sebutkan sebelumnya, mendirikan sebuah brand dan organisasi esports bukanlah perkara mudah. Ivan sebagai pemilik EVOS Esports sendiri menjelaskan bahwa agar bisa mencapai sukses, sebuah tim esports harus memiliki kepemimpinan yang kuat di dalam dan luar game, infrastruktur manajement yang baik, serta humble dan mencintai para fans, pemain, serta mitranya.
“Alasan saya mendirikan EVOS bukan sekedar mengisi waktu ataupun untuk mendapatkan uang. EVOS terbentuk karena kami ingin membangun sebuah mimpi yang sulit dan menginspirasi banyak orang untuk membangun mimpi mereka bersama kami. Karena itulah, tidak ada satupun hari yang terlewat tanpa memikirkan bagaimana kami bisa membantu para fans, pemain, serta mitra kami.
Terakhir, Ivan menambahkan “love the game, the players and the people. Then figure out how to make them love you back. That’s the secret to building EVOS.”