Dota 2

Drama Skem dan Kuku Menempatkan Valve di Posisi yang Sulit

Pada turnamen Minor Dota 2 DreamLeague Season 10 lalu, Skem dari Complexity memicu sebuah drama. Saat bertanding menghadapi Royal Never Give Up dari China, ia menuliskan sebuah teks rasis dalam game ketika sedang bertanding. Beberapa minggu kemudian ia dilepaskan dari Complexity dan mengeluarkan permintaan maaf secara publik.

Tidak lama setelahnya, Kuku dari TNC juga melakukan hal yang sama terhadap pemain China sebelum The Kuala Lumpur Major. Berbeda dengan Skem, ia melakukan ini di public matchmaking. Namun itu tidak membuat komunitas Dota 2 di China marah. Kuku kemudian juga menerima denda dari timnya.

Setelah pertukaran email antara Burning dan Erik Johnson dari Valve serta pernyataan langsung dari Valve, masalah ini sepertinya akan usai. Namun ternyata tidak. Akhir pekan lalu, beredar rumor bahwa pemerintah China melarang kedua pemain tersebut bertanding di Major berikutnya, The Chongqing Major. Rumor tersebut kemudian dikonfirmasi oleh berbagai personality.

Meskipun belum ada kepastian sama sekali, ada kemungkinan larangan tersebut diperpanjang hingga turnamen lain yang diadakan di Cina, termasuk The International 2019 musim ini. Entah itu benar atau tidak, kedua pemain tersebut bisa saja kesulitan mendapatkan Visa ke China.

Drama ini bisa dibilang memecah komunitas Dota 2. Valve mau tidak mau harus mengambil tindakan, dan apa keputusan mereka bisa berpengaruh ke ranah esports Dota 2 ke depannya.

Dari sudut pandang audience, keputusan yang diambil pemerintah China jelas dirasa terlalu keras. Baik Kuku dan Skem sudah mendapatkan hukuman dari timnya masing-masing. Skem bahkan tidak lagi bermain sebagai roster aktif dan akan dilepaskan ke tim manapun yang mau mengambilnya. Itu pun jika ada tim yang bersedia setelah reputasinya rusak.

Ini juga merupakan pertama kalinya pihak penyelenggara turnamen Pro Circuit melakukan intervensi dan mengambil keputusan sebelum Valve. Padahal meskipun lebih suka lepas tangan, keputusan seperti ini harusnya tetap ada di tangan Valve.

Keputusan ini bisa dilihat sebagai cara China untuk memperlihatkan bahwa merekalah yang memegang kendali di tanah mereka sendiri. Artinya bahkan Valve berada di bawah China jika turnamen resmi dari Valve diadakan di negara tersebut.

Ini jelas bisa jadi masalah jika kuasa tersebut dibiarkan begitu saja. Dengan kemampuan memutuskan segala sesuatu melampaui Valve, kuasa tersebut bisa saja dieksploitasi. Kita tidak akan pernah tahu seperti apa batasan agar seorang pemain tidak mendapatkan ban untuk bertanding di China. Bisa saja sebuah kesalahan yang lebih sepele dari kasus Kuku atau Skem bisa jadi alasan untuk melarang pemain bertanding di Cina.

Tidak cuma itu, kita tidak tahu sampai mana kuasa tersebut akan digunakan di luar melarang pemain bertanding. Untuk mencegah itu, Valve mau tidak mau harus menyatakan bahwa merekalah yang berhak mengambil keputusan akhir atas segala sesuatu terkait esports mereka, termasuk pada kasus Skem dan Kuku ini.

Banyak anggota komunitas yang tidak setuju dengan keputusan China atas larangan tersebut. Beberapa bahkan ingin Valve memboikot atau mencabut status Major dari The Chonqing Major seperti yang pernah mereka lakukan pada Galaxy Battles II musim sebelumnya. Sayangnya, kali ini Valve berurusan dengan China, dan berurusan dengan negara ini tidaklah mudah.

Pertama, tidak bisa dipungkiri bahwa China adalah salah satu pasar terbesar Valve untuk Dota 2. Penonton China merupakan yang paling besar di final The International 2018 lalu. Potensi audience ini juga mungkin jadi salah satu alasan mengapa The International 2019 nanti diadakan di Shanghai.

Memboikot turnamen yang ada di China, entah itu atas keputusan Valve atau pemain, hanya akan merugikan Valve secara finansial. Tanpa kehadiran tim barat, turnamen di China mungkin tidak lagi menarik bahkan untuk sebagian audience negara tersebut. Insiden ini pun sebenarnya secara tidak langsung membuat event Dota 2 yang diadakan di China menjadi kurang menarik, paling tidak sampai Valve angkat bicara.

Hingga hari ini, Valve sama sekali belum angkat bicara atau memberikan pernyataan. Tidak heran mengingat kasus ini jauh lebih rumit dan memiliki banyak pertimbangan.

Idealnya, kita tentu ingin esports Dota 2 kembali seperti dulu, sebuah ekosistem global yang terbuka untuk siapa saja. Akan sangat disayangkan jika Dota Pro Circuit pecah, China menjadi ekosistem yang terpisah/terisolasi, atau esports Dota 2 berubah menjadi lebih buruk/kecil.

Apapun keputusan Valve dalam perkara ini jelas akan berdampak terhadap esports Dota 2 ke depannya. Kita hanya bisa berharap keputusan tersebut bisa memperbaiki situasi ini, entah sekarang atau untuk turnamen-turnamen berikutnya.