Sejarah Perjuangan Tim dan Pemain Indonesia Di Esports Dota 2
Meski sudah digelar lebih dari satu dekade yang lalu, scene esports dari Dota 2 masih menjadi salah satu yang terbesar. Hal ini tercermin dari prize pool yang disediakan oleh Valve untuk turnamen terbesarnya, The International (TI). Ajang tahunan yang bakal menyelenggarakan edisi ke-11 tersebut saat ini masih menjadi turnamen dengan total hadiah tertinggi, yaitu kurang lebih US$40 juta untuk TI10.
Sayangnya, di Indonesia, scene esports Dota 2 bisa dibilang sudah mati suri. Menjamurnya game MOBA versi mobile yang lebih mudah “dijangkau” oleh banyak khalayak semakin menepikan Dota 2 dan judul esports PC lainnya. Akibatnya, turnamen lokal sudah jarang atau bahkan tidak ada lagi di Tanah Air. Kemunduran ini tentu sangat disayangkan mengingat Indonesia memiliki sejarah yang cukup baik di scene Dota.
Lewat kesempatan ini, mari kita menyelam ke masa lalu, di saat Dota 2 masih masih menjadi game esports yang menjanjikan di Indonesia.
Legenda tim XcN
Dahulu kala, Indonesia memiliki satu tim esports Dota 1 (Warcraft Dota) yang ditakuti tidak hanya di turnamen lokal, tetapi juga di turnamen se-Asia Tenggara. Tim tersebut adalah XcN. Beranggotakan lima pemain legendaris, yaitu Ritter ‘Ritter’ Rusli, Romi ‘Melen’ Gunawan, Jefri ‘Stam-X’ Suwiryo, Ariyanto ‘Lakuci’ Sony, Farrand ‘Koala’ Kowara, dan Sugiarto ‘Bahamut’ Cahyadi, XcN mendominasi berbagai turnamen Dota 1 yang digelar saat itu.
Kelima pelopor pemain esports profesional Indonesia tersebut hampir memenangkan semua turnamen yang diikuti. Puncak prestasi tertinggi yang didapatkan oleh XcN adalah ketika mereka berhasil keluar sebagai juara dari turnamen Asia Dota Championship pada tahun 2007. Setelah itu, semua punggawa XcN dipinang oleh Fnatic, di mana mereka juga memperoleh kesuksesan.
Sayangnya, meski sempat menguasai scene Dota 1 dari tahun 2006 hingga 2009, mantan anggota XcN tak menemui kesuksesan yang sama ketika Valve mengenalkan Dota 2. Stam-X pensiun dini saat masih bermain Dota 1, disusul dengan Lakuci, Melen, serta sang kapten, Ritter. Bagi Ritter, salah satu alasan yang menyebabkan mereka gantung mouse adalah karena esports masih dipandang sebelah mata kala itu.
Namun, bukan berarti mereka tak mencicipi kerasnya turnamen Dota 2. Ritter mencoba peruntungannya di Dota 2 dengan bergabung ke Rex Regum Qeon (RRQ) pada tahun 2014. Di RRQ, dia kembali bermain dengan mantan rekannya di XcN, Bahamut. Akan tetapi, kedua pemain tersebut tak mampu bersaing di tengah naiknya level permainan Dota 2 di Asia Tenggara.
Regenerasi yang gagal di scene Dota 2 Indonesia
RRQ menjadi salah satu tim yang sempat memiliki divisi Dota 2. Tim ini bahkan memulai kiprahnya sebagai salah satu tim esports besar lewat game ini. Setelah era mantan pemain XnC berakhir (Ritter dan Bahamut) dan kegagalan mereka menembus TI4, RRQ melakukan perombakan besar untuk memperbaiki prestasi mereka di Asia Tenggara.
Kedatangan dua pemain hebat, Rusman “Rusman” Hadi dan Rivaldi “R7” Fatah, di tahun 2018 memberikan kesempatan besar untuk RRQ dalam meraih misi mereka tersebut. Dengan roster mereka saat itu, mereka mampu lolos dari babak kualifikasi untuk mengikuti GESC: Indonesia Minor. Prestasi yang berhasil diraih oleh RRQ tersebut membuat mereka digadang-gadang menjadi tim yang akan mengangkat nama Indonesia di ajang Dota 2.
Sayangnya, hal itu tidak terjadi. Kepergian Kenny “Xepher” Deo ke TNC Tiger memberikan dampak besar kepada RRQ. Hasilnya, divisi Dota 2 dibubarkan pada tahun 2019. Salah satu alasan pembubaran yang sempat dibeberkan oleh sang manajer, Wilbert Marco, adalah sulitnya mencari pemain pengganti yang cocok untuk melengkapi roster yang ada sekaligus yang mampu bersaing di scene Dota 2.
Sang rival RRQ, EVOS Esports, juga mengawali karir mereka sebagai tim esports lewat game MOBA buatan Valve tersebut. Berawal dari sebuah turnamen yang digelar pada tahun 2016, EVOS mengakuisisi roster dari tim yang menjadi juara ketiga, Zero Latitude. Meski tak terlalu mentereng, prestasi dari EVOS tak bisa dipandang sebelah mata. Mereka berhasil menjadi juara ProDota Cup SEA 2018 serta tampil di ESL One Hamburg 2018.
Sayangnya, kiprah EVOS di scene Dota 2 tak berjalan lama. Di tahun 2019, divisi ini resmi dibubarkan oleh tim. ESL Indonesia Championship Season 2 menjadi turnamen terakhir EVOS di Dota 2. Saat itu, tim yang beranggotakan Matthew “Whitemon” Filemon, Indra “Vlaicu” Utama, Adit “Aville” Rosenda, Usep “Facehugger” Setiawan, dan Souliya “JaCkky” Khoomphetsavong (untuk penyisihan grup) menjadi juara kedua.
Menariknya, salah satu mantan pemain EVOS, Aville, membeberkan alasan pembubaran timnya tersebut. Menurut pengakuannya, scene Dota 2 sudah tidak ramai lagi. Tak hanya itu, Aville juga mengatakan bahwa alasan bisnis menjadi penyebab tim dibubarkan. Pasalnya, untuk bisa mendapat “untung” di turnamen Dota 2, sebuah tim setidaknya harus menjadi juara atau masuk ke tiga besar.
Hanya menyisakan satu nama besar
Selain EVOS dan RRQ, masih ada beberapa tim Indonesia yang sempat eksis di scene Dota 2, seperti Alter Ego, The Prime Esports, dan PG.Barracx. Namun, seperti halnya kedua tim yang pertama disebut, mereka harus kandas tanpa mencicipi kesuksesan di skala internasional. Kini, Indonesia hanya menyisakan satu tim besar saja di Dota 2, yaitu BOOM Esports.
Jika tim-tim lain sudah berpaling ke game mobile yang lebih “menguntungkan”, BOOM tetap setia di salah satu game yang membumbungkan nama mereka tersebut. Dibentuk pada tahun 2017, BOOM punya roster berisikan pemain terkenal saat itu seperti Rizki “Varizh” Varizh, Nicolas “Francoeur” Batara Sijabat, Dolly “SaintDeLucaz” Van Pelo, Randy “Dreamocel” Sapoetra, dan sang pubstar Indonesia, Muhammad “inYourdreaM” Rizky.
Mereka berhasil menjadi tim yang merajai turnamen tier 3. BOOM bahkan bisa mengalahkan EVOS serta RRQ yang merupakan “senior” mereka di Dota 2. Akan tetapi, kesuksesan mereka hanya sekedar di tier 3. Di turnamen tier 2, BOOM masih belum bisa berbicara banyak.
Lebih disayangkan lagi, karena kegagalan demi kegagalan untuk menjadi juara turnamen serta menembus The International, BOOM pun merombak pemainnya. Satu per satu pemain asal Indonesia harus hengkang dari tim, dimulai dari InYourDream di tahun 2018, dilanjutkan dengan Dreamocel, Rafli “Mikoto” Rahman, Brizio “Hyde” Budiana, hingga sang IGL, Alfi “Khezcute” Nelphyana yang memutuskan untuk pensiun di tahun 2021.
Sekarang, pemain Indonesia yang bertahan di BOOM hanya seorang Saieful “Fbz” Ilham, yang sudah bergabung sejak 2018. Sisanya adalah pemain “impor”, yaitu JaCkky, Erin “Yopaj” Ferrer, Timothy “Tims” Randrup, dan Timothy “Tims” Randrup. Meski rasa indo pride sudah sedikit memudar, perubahan besar yang dilakukan oleh BOOM pada tahun 2021 tersebut ternyata membuahkan hasil yang memuaskan.
Mereka berhasil dua kali menjadi juara di turnamen internasional LAN, Gamer Galaxy yang berlangsung di Dubai serta Thailand pada tahun 2022. Penampilan luar biasa mereka di DPC SEA juga memberikan BOOM sebuah tiket di TI11, menjadikan mereka tim Indonesia pertama yang masuk ke turnamen tersebut.
Namun, masihkah kita bisa menyebut BOOM dengan bangga sebagai tim Indonesia jika hanya ada satu pemain lokal saja di roster mereka?
Kesuksesan pemain Indonesia di Dota 2
Beruntung bagi penggemar Dota 2 di Indonesia, kita masih punya talenta-talenta lokal yang mendapat prestasi besar di skala internasional. Sebelum FBz berhasil membawa BOOM ke ajang TI, Xepher dan Whitemon sudah terlebih dahulu mencicipi Piala Dunia dari Dota 2 itu di tahun 2021 bersama tim mereka saat ini, T1. Masuknya Talon Epsorts ke TI11 juga menambah kuota pemain Indonesia karena adanya Mikoto dan Hyde.
InYourDream, pemain muda berbakat yang menjadi yang menjadi yang pertama untuk mencapai 9000 MMR pada 2017, kini sedang berusaha menyusul jejak rekannya tersebut. Bersama dengan Army Geniuses, InYourDream dapat bertahan di Divisi 2 dari DPC SEA untuk tahun ini dan akan berkompetisi di turnamen yang sama tahun depan, jika tidak ada perubahan.
Sebelum bermain di timnya saat ini, InYourDream bersama Xepher sempat meneror tim-tim Asia Tenggara ketika keduanya bermain untuk Tigers. Dengan Tigers, mereka berhasil memenangkan DreamLeague Season 10 dan mendapatkan kesempatan untuk bermain di The Kuala Lumpur Major pada tahun 2018. Sayangnya di turnamen tersebut, Tigers hanya bisa finis di posisi ke 13-16.
Berpencarnya para pemain Indonesia dan perombakan besar BOOM seperti menandakan scene Dota 2 di Tanah Air benar-benar berakhir. Tentunya, mendukung pemain-pemain tersebut agar mendapat kesuksesan tetap wajib kita lakukan. Namun, melihat tim Indonesia masuk ke TI dengan roster penuh pemain lokal masih menjadi harapan besar kami. Tumpuan kami berada di pundak Army Geniuses, yang saat ini memiliki empat pemain lokal dan satu pemain Mongolia.