Berita

Netflix dan Keajaiban Adaptasi Game ke Anime

Adaptasi game ke media hiburan lain selalu mendatangkan masalah tersendiri. Media yang paling sering bermasalah adalah film atau televisi. Dari tahun 1993, kita sudah mendapatkan puluhan adaptasi game ke film dengan nilai kritik yang nggak bagus-bagus amat. Malah cenderung buruk dengan berbagai kelemahannya.

Beberapa film buatan Uwe Boll bahkan sangat unwatchable, alias sangat buruk sekali dan tidak ada obatnya. Sebenarnya film seperti Silent Hill, cukup mudah untuk dinikmati. Tapi karena genrenya horor, lagi-lagi film tersebut tidak mendapatkan rating yang baik dari kritikus film.

Semua keluhan ini berubah ketika Netflix melakukan pendekatan yang berbeda dengan video game. Mereka mengubah beberapa hal hingga akhirnya game bisa dinikmati di luar media originalnya.

Format animasi

Netflix mengambil langkah yang cukup cerdas ketika membuat film adaptasi game. Ketimbang membuat film live action, Netflix memilih adaptasi berupa film animasi. Hal ini menjadikan film-film adaptasi Netflix bisa bercerita dengan menggunakan wajah atau sosok yang dikenali oleh gamer.

Bayangkan kalau Netflix memilih untuk membuat adaptasi live action seperti yang kebanyakan dilakukan oleh Hollywood. Mereka harus mencari aktor yang memiliki wajah mirip dengan karakter gamenya. Selain harus mirip, sang aktor juga harus bisa memerankan karakternya dengan baik sehingga believable.

Format animasi juga sangat menguntungkan dalam film adaptasi game, terutama bila yang diadaptasi adalah game-game action seperti Castlevania atau The Witcher. Dengan menggunakan animasi, Netflix dan studio yang bekerja di belakangnya bisa membuat karakter bergerak sesuka hati tanpa memperhitungkan gravitasi atau special effect.

Serial TV bukan film layar lebar

Selain menggunakan format animasi yang membuat film-film adaptasi Netflix close to the source, Netflix juga menggunakan format serial bukan film layar lebar yang direntangkan sepanjang dua hingga tiga jam.

Hasil penggunaan format serial TV ini membuat sutradara dan penulis cerita memiliki banyak waktu untuk bercerita dengan lebih runut dan detail. Mereka tidak dikejar-kejar durasi yang kelewat pendek atau kelewat panjang. 30 hingga 60 menit adalah durasi yang pas untuk menceritakan satu bagian dari cerita utama sebuah game.

Coba sekarang kamu bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Hollywood terhadap game-game yang diadaptasi ke layar lebar. Mereka menjejalkan cerita rumit sepanjang tiga game ke dalam sebuah film sepanjang dua jam. Bukan hal yang mustahil sebenarnya, tetapi akan lebih banyak gagalnya ketimbang suksesnya.

Pemilihan materi yang matang

Netflix sepertinya sangat berhati-hati ketika memilih materi game yang akan mereka adaptasi ke dalam film. Hal ini cukup terlihat dengan jenis-jenis game yang mereka adaptasi ke dalam animasi. Mereka biasanya mengadaptasi game-game yang memiliki cerita panjang atau detail, sehingga memiliki banyak materi yang bisa diadaptasi.

Castlevania yang memulai debut animasinya di tahun 2017, memiliki cerita yang merentang panjang dari tahun 1986 hingga 2014. Begitupun dengan DOTA: Dragon’s Blood yang gamenya memiliki lore sangat dalam. Mereka tidak sembarangan memilih materi yang hendak diadaptasi ke dalam animasi.

Coba bandingkan dengan Hollywood yang memilih Postal sebagai game yang diadaptasi ke dalam film. Apa yang mau mereka ceritakan dari sebuah game yang isinya hanyalah pembantaian dengan cara paling tolol dan konyol?

Postal sebenarnya kurang masuk hitungan karena dibuat oleh Uwo Boll. Tapi sebenarnya judul-judul yang lain juga tetap buruk.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *