Faktor yang Menentukan Apakah Sebuah Game Bisa Menjadi Cabang Esports
Saat ini, industri esports sudah berkembang dengan sangat pesat. Dulu kita hanya tahu bahwa hanya ada segelintir game yang bisa masuk ke level kompetitif dan menjadi game esports.
Namun hingga hari ini, ada banyak game yang dipertandingkan dan disiarkan secara langsung di platform streaming seperti Twitch atau YouTube. Game yang sebelumnya belum pernah kamu dengar mungkin punya turnamen yang menjanjikan hadiah cukup besar. Bahkan beberapa developer seperti Blizzard sangat mempertimbangkan aspek esports ketika mengembangkan game seperti Overwatch dan Heroes of The Storm.
Namun apa saja yang sebenarnya menentukan apakah sebuah game bisa menjadi cabang esports yang sukses atau tidak? Nah, dalam artikel ini kami akan mengemukanan beberapa faktor yang kami peroleh dari observasi dan riset terhadap berbagai macam game dan zaman.
Gameplay yang Kompetitif atau Bisa Diadu
Semua game esports memiliki aspek kompetitif. Ini berarti dalam permainan, dua pemain atau tim akan beradu untuk memperoleh tujuan yang sama. Tujuan tersebut berbeda di masing-masing game.
Dalam game MOBA seperti Dota 2 dan League of Legends misalnya, kedua tim harus lebih dulu menghancurkan markas lawan. Dalam game FPS seperti CS:GO atau Overwatch, masing-masing tim harus membunuh tim lawan, atau menyelesaikan sebuah misi dalam batas waktu yang ditentukan. Di fighting games, pemain harus menghabisi HP lawan dengan berbagai macam serangan sebelum lawan melakukan hal yang sama.
Bahkan ada juga game yang pertandingannya berbasis time attack, atau adu cepat menyelesaikan sebuah misi atau objektif yang persis sama. Salah satu contohnya adalah turnamen Summoners War yang ternyata cukup sering diadakan.
Memang, kesannya sedikit dipaksakan. Namun pada intinya, selama punya aspek kompetitif atau sesuatu yang bisa diadu, sebuah game selalu bisa didorong menjadi cabang esports.
Balanced, atau Dipaksa agar Balanced
Selain gameplay yang bisa diadu, sebuah game juga perlu punya balace yang baik. Maksudnya adalah, siapa pemenang dalam sebuah pertandingan harus ditentukan dari kemampuan pemain. Ini meliputi skill dan teknik bermain, pengambilan keputusan, dan mentalitas. Hasil sebuah permainan tidak boleh ditentukan dari aspek sebuah game yang ia mainkan.
Balance di sini berarti meliputi karakter, item, serta faktor RNG yang ada dalam permainan tersebut. Sebuah game harus memiliki karakter dan item yang balanced, alias sama kuat atau saling mengalahkan. Dengan begitu tiap pemain bisa memilih karakter yang ia sukai dan sesuai dengan gaya permainan mereka. Dari situ sebuah pertandingan ditentukan dari seberapa ahli seorang pemain menggunakan karakter tersebut atau menangkal karakter lawan dengan karakter yang ia mainkan.
Bayangkan jika sebuah game ternyata tidak balanced, alias ada karakter, item, atau mekanik dalam game tersebut yang terlalu kuat, atau sebaliknya terlalu lemah. Karena ada karakter yang terbukti lebih kuat dari semua karakter lain, sebagian besar pemain pasti akan mengandalkan karakter tersebut. Jika ada mekanik yang broken dan bisa meningkatkan peluang menangmu secara signifikan, sebagian besar pemain pasti akan mencoba mengeksploitasi mekanik tersebut agar bisa menang.
Dalam kondisi tersebut, kita tidak bisa menyalahkan pemain untuk hal ini. Karena di level kompetitif, semua orang bermain untuk menang, dan akan memanfaatkan cara apapun yang tersedia dan diizinkan oleh game tersebut untuk memenangkan pertandingan, termasuk menggunakan karakter yang imbalanced atau lebih kuat.
Meskipun begitu, lambat laun game yang tidak balanced akan menciptakan tontonan yang monoton. Semua orang akan menggunakan karakter, item, dan/atau mekanik yang sama tiap kali kamu menonton. Penonton akan melihat hal yang sama di tiap turnamen dan tiap pertandingan, sehingga lama kelamaan bosan dan berhenti menonton.
Di sisi lain, pemain itu sendiri juga bisa saja bosan karena memainkan atau menghadapi hal yang sama tiap kali bermain atau bertanding. Lambat laun, game yang tidak balanced tersebut akan ditinggalkan, dan tidak bisa lagi dipertahankan sebagai esports yang sehat.
Salah satu contoh untuk ini adalah karakter Bayonetta di Super Smash. Bros for WiiU. Ketika pertama kali dirilis sebagai DLC, Bayonetta dianggap terlalu kuat karena mampu mengalahkan lawan dengan cepat menggunakan combo yang sangat mudah dieksekusi. Akibatnya, ada periode di mana siapapun yang menggunakan Bayonetta pasti punya win-rate yang cukup tinggi dalam turnamen, meskipun yang memainkannya mungkin tidak terlalu ahli. Untungnya, Nintendo dengan cepat memberikan nerf terhadap karakter tersebut.
Hal yang sama juga berlaku untuk RNG, yang merupakan salah satu aspek dari game balance. RNG, atau random number generator adalah segala sesuatu dalam permainan yang hasilnya ditentukan dari peluang acak, misalnya critical hit dalam berbagai game, waktu respawn Roshan di Dota 2, atau outcome sebuah kartu di Hearthstone.
Memasukkan RNG ke dalam bukanlah hal yang salah, selama sebaran peluangnya masih bisa diprediksi dan diantisipasi oleh pemain. Namun lain halnya jika sebaran peluang sebuah RNG terlalu besar dan bisa menentukan hasil sebuah pertandingan.
Salah satu contohnya adalah kartu Yogg-Saron di Hearthstone. Ketika dimainkan, kartu ini akan memainkan spell acak sejumlah berapa banyak spell yang sudah kamu mainkan dalam permainan. Spell acak ini bisa berasal dari class mana pun, dengan mana cost berapa pun, dan mengarah ke target yang acak. Ketika kartu ini dimainkan, bukan tidak mungkin kamu bisa berbalik menang dari kondisi pasti kalah.
Bayangkan, di dalam turnamen di mana kamu ingin mengadu skill dan kemampuan, hasil sebuah pertandingan ternyata ditentukan oleh peluang acak yang terlalu sulit atau malah tidak bisa diprediksi atau diantisipasi oleh pemain. Dalam konteks tersebut, bisa saja pemain yang tidak ahli menang dengan pemain yang jauh lebih berpengalaman hanya karena ia lebih beruntung.
Ini tentunya membuat game tersebut memberikan imbalan yang setimpal atas keahlian dan kemampuan bermain seseorang. Akibatnya, lama kelamaan semua pemain akan berpikir bahwa bekerja keras untuk mempelajari game tersebut sama sekali tidak berguna, toh di turnamen pemenang pertandingan juga ditentukan dari siapa yang lebih beruntung.
Dari situ, pemain pun akhirnya meninggalkan game tersebut. Lambat laun game tersebut akan mati atau minimal tidak bisa dijadikan sebuah esports.
Masalah dari game yang tidak balanced sebenarnya bisa dihilangkan dengan beberapa cara. Namun itu menuntut tindakan langsung dari mereka yang memang menyukai game tersebut, entah itu sang developer itu sendiri, atau komunitas pemain dan penikmat game tersebut.
Playerbase dan Audience yang Besar
Pada poin di atas, saya sempat menyinggung urusan pemain dan juga penonton. Keduanya adalah elemen yang menurut saya paling penting dalam industri esports.
Secara umum, pemain dan penonton sebuah game adalah orang yang sama. Merekalah target pasar untuk sebuah game, dan yang menjadi parameter apakah sebuah game layak dicoba dibuatkan turnamen atau tidak.
Sederhananya, jika sebuah game memiliki basis pemain yang besar dan ditonton oleh banyak orang, game tersebut pasti bisa dibuatkan turnamen. Karena segelintir dari pemain tersebut pasti akan tertarik untuk ikut serta, dan mereka yang tidak pasti akan menjadi penontonnya.
Bahkan meskipun sebuah game awalnya tidak diniatkan menjadi sebuah esports, jumlah pemain dan penontonnya bisa menjadi alasan untuk mencoba. Hearthstone misalnya, awalnya hanya didesain sebagai game casual. Namun karena memiliki banyak pemain dan sering ditonton di Twitch, Blizzard dan juga penyelenggara turnamen lain memutuskan untuk membuat turnamen Hearthstone. Bahkan saat ini Hearthstone punya sirkuit esports dengan sistem yang jelas dan terorganisir.
Kasus yang sama juga terjadi di Rocket League. Meskipun awalnya tidak diniatkan menjadi cabang esports, namun karena memiliki jumlah pemain yang cukup banyak, di tahun 2016 mereka memutuskan untuk membuat turnamen dunia. Memang, Rocket League tidaklah sepopuler Dota 2 atau League of Legends. Namun untuk game yang dibuat oleh developer yang mungkin tidak begitu dikenal sebelumnya, upaya mereka terbilang sukses.
Kasus yang sebaliknya juga pernah terjadi. Salah satu yang paling mencolok adalah Overwatch di Indonesia. Meskipun sudah memiliki lebih dari 30 juta pemain, jumlah pemain di Overwatch bisa dibilang sangat minim. Alasannya beragam, mulai dari harga game yang mahal sampai spesifikasi PC yang terlalu tinggi.
Namun yang jelas adalah, Overwatch bukanlah game yang populer di Indonesia dengan jumlah pemain dan penonton yang minim. Akibatnya, turnamen yang diselenggarakan pun akan sepi penonton atau bahkan peserta. Lalu karena sepi, pihak sponsor pun tidak tertarik untuk membantu turnamen Overwatch. Dari situ lama kelamaan pemain yang awalnya serius pun kehilangan tujuan bermain, sehingga memutuskan untuk mengejar karir esports di game lain dan tidak lagi rajin memainkan Overwatch.
Sekali lagi, pemain dan penonton adalah target pasar dan sumber pendapatan utama sebuah game dan cabang esports. Jika sebuah game kekurangan pemain, tidak ada alasan untuk membuat turnamen yang juga memakan biaya.
Dukungan dan Keterlibatan Developer atau Publisher
Keterlibatan developer, publisher, serta orang-orang di balik layar juga menentukan apakah sebuah game bisa menjadi esports yang sukses atau tidak.
Developer adalah mereka yang benar-benar menentukan arah dari sebuah game. Mereka jugalah yang akan memberikan pengaruh paling besar dan bisa menentukan apakah game mereka ingin dijadikan cabang esports, dan bagaimana sistemnya.
Riot Games, Valve, dan Blizzard melakukan itu untuk masing-masing game mereka. Setelah mengetahui bahwa game mereka sukses dan berpotensi menjadi cabang esports, ketiganya kemudian membuat sirkuit kompetitif atau esports untuk game mereka. Sistem dan bentuk sirkuit esports untuk masing-masing Dota 2, League of Legends, dan Hearthstone memang berbeda, namun pada intinya mereka sama-sama ingin membuat sistem esports yang rapi dan terarah.
Namun keterlibatan developer juga tidak berhenti sampai di situ. Jika memang ingin game mereka bisa menjadi cabang esports yang sehat dan sukses dalam jangka panjang, mereka juga harus memastikan bahwa game mereka layak dimainkan dan diadu. Ini berarti menyinggung poin sebelumnya, yaitu game yang mereka buat harus balanced dan benar-benar mengadu keahlian pemain.
Jika ternyata game yang mereka buat ternyata punya aspek yang imbalanced, pihak developer juga bisa mengambil tindakan jika mereka masih ingin game mereka maju menjadi cabang esports yang sukses.
Salah satu contoh tindakan yang paling sering dilakukan adalah dengan melakukan balance patch, atau memperbaiki beberapa aspek yang tidak balanced dari game mereka, sehingga menjadi lebih adil dan netral. Bahkan game seperti Dota 2 dan League of Legends melakukan balance patch secara berkala agar game mereka tetap terasa baru dan menarik, baik untuk dimainkan ataupun ditonton.
Bahkan ketika game mereka tidak balanced sekalipun, beberapa pihak di balik layar termasuk developer bisa memaksakan agar game tersebut balanced dengan memasang peraturan khusus turnamen.
Game Pokemon misalnya, punya sejumlah Pokemon yang sangat kuat, dan banyak Pokemon yang biasa saja. Untuk mencegah meta-game yang tidak balanced, game Pokemon sekarang memiliki tier list untuk masing-masing Pokemon. Lalu turnamen juga punya cabang sendiri yang mengikuti aturan dan batasan berdasarkan tier list tersebut, salah satunya adalah anything goes yang memperbolehkan semua Pokemon tanpa memperhatikan tier list.
Ada banyak hal lagi yang membuat sebuah game bisa gagal atau sukses menjadi esports, dan dari beberapa faktor tersebut, campur tangan serta perubahan dari pihak developerlah yang menjadi penentu nasib game mereka sendiri.
Komunitas yang Aktif dan Berinisiatif dalam Mengembangkan Scene Esports
Terakhir, dalam sebuah scene esports, para pemain bukanlah sekedar target pasar dan sumber penghasilan. Mereka juga termasuk motor penggerak scene esports sebuah game, dan sering diberi sebutan komunitas. Jika komunitas dalam sebuah game tidak mau berpartisipasi dan berkontribusi dalam memajukan scene esports game mereka, maka jangan harap game tersebut akan mendapatkan kemajuan yang berarti.
Bahkan, di zaman dulu, komunitaslah yang menjadi titik awal tercipta dan berkembangnya scene esports sebuah game.
Sebelum Dota 2 dan The International, turnamen Dota kebanyakan berskala kecil yang awalnya dibuat oleh sesama komunitas. Barulah setelah cukup populer, muncul turnamen ESWC yang memberikan hadiah yang cukup besar, namun masih terbilang tidak seberapa dibanding The International yang sekarang menjanjikan hadiah puluhan juta dolar.
Namun dari semua genre, fighting game adalah contoh betapa pentingnya komunitas dalam menumbuhkan scene esports sebuah game. Sepanjang sejarahnya, turnamen fighting game selalu diadakan kecil-kecilan di sebuah ruangan besar milik seseorang, diadakan oleh seorang pemain dan anggota komunitas. Hadiah yang ditawarkan juga tidak seberapa, malah biasanya diambil dari biaya pendaftaran peserta.
Sekarang, game seperti Tekken dan Street Fighter sudah punya sirkuit kompetitif serta turnamen-turnamen besar. Namun di tengah-tengah turnamen tersebut, masih ada turnamen kecil mingguan yang diikuti oleh pemain lokal yang bertujuan meningkatkan skill pemain lokal serta tempat berkumpul sesama pecinta game yang sama.
Meskipun saya sudah menyebutkan faktor di atas, bukan berarti aturannya berlaku untuk semua game. Di luar sana selalu ada game yang entah bagaimana bisa menjadi cabang esports yang sukses.
Super Smash Bros. Melee misalnya, awalnya berjalan murni dari komunitas. Nintendo sama sekali tidak campur tangan, bahkan sempat menuntut akan memblokir siaran langsung turnamen Melee ketika game tersebut masuk menjadi salah satu cabang di EVO 2013. Namun setelah kecaman dari komunitasnya, Nintendo membatalkan niat mereka.
Baca juga: Mengenal format turnamen yang sering digunakan di esports