VALORANT

Format Baru VCT, Antara Jalan Menuju Kesuksesan dan Kehancuran

Setelah beberapa bulan berlalu sejak mengumumkan perubahan format turnamen, Riot Games akhirnya memberikan detail mengenai VALORANT Champions Tour (VCT) untuk tahun 2023 dan seterusnya. Dengan sistem franchise, ada 10 tim mitra di masing-masing regional yang akan berkompetisi di sebuah liga bernama Pro League. Tim-tim tersebut memiliki kesempatan untuk mengikuti turnamen internasional, seperti Masters dan juga Champions.

Lalu, bagaimana dengan tim yang tidak terpilih sebagai mitra? Riot tetap memberikan kesempatan kepada tim tier kedua dengan mengadakan turnamen Challengers, yang kemudian ditutup dengan Ascension. Pemenang dari pergelaran Ascension akan mendapat slot di Pro League untuk dua tahun mendatang. Setelah masa dua tahun berakhir, maka tim tersebut akan kembali berlaga di kompetisi Challengers.

Perubahan format turnamen VCT ini sebelumnya mendapat beragam reaksi dari komunitas VALORANT. Ada yang menyambut baik sistem franchise karena memberikan stabilitas kepada tim, namun ada yang meragukannya karena dinilai merusak tatanan grassroot yang sudah terbentuk selama. Pro dan kontra tentu akan selalu hadir di setiap keputusan yang dibuat.

Pertanyaan besar untuk saat ini adalah, apakah format ini merupakan jalan terbaik bagi masa depan kompetisi VALORANT?

Bukan sistem franchise pada umumnya

Sistem franchise bukanlah hal baru bagi Riot. Sistem ini telah diterapkan di kompetisi game lain buatan mereka, League of Legends (LoL). Namun di VALORANT, penggunaan kata franchise dirasa kurang tepat. Pasalnya, di liga franchise pada umumnya, sebuah tim harus menyetor dana yang tidak sedikit kepada pihak penyelenggara untuk membeli sebuah slot di turnamen tersebut. 

Di VCT, tim tidak perlu membayar uang sepeserpun untuk dapat berkompetisi di Pro League. Riot bahkan akan memberikan stimulus kepada semua tim sebagai modal “bertahan hidup” di tiap tahunnya. Sebagai gantinya, Riot akan menyeleksi tim yang berminat bergabung ke liga mereka. Menurut kabar yang beredar, track record finansial sebuah organisasi esports menjadi salah satu patokan dalam pemilihan mitra Riot.

Gratisnya biasa masuk ke Pro League tentunya disyukuri oleh tim terpilih. Dibanding harus mengeluarkan uang untuk membeli slot liga, dana tersebut bisa digunakan untuk keperluan lain seperti membayar pemain serta staf, tempat pelatihan, dan lain sebagainya. Pemberian stimulus juga setidaknya dapat sedikit membantu mitra yang akan berlaga di Pro League.

Membandingkan dengan sistem franchise LoL

LCS
Sumber: LCS

Jika dibandingkan dengan kompetisi LoL, masuknya format franchise di VALORANT tergolong cepat. Sebelum memasuki era franchise, Riot terlebih dahulu menerapkan format liga dengan sistem promosi dan degradasi. Liga diadakan di sejumlah wilayah seperti Amerika Utara (LCS), Eropa (LEC), Korea Selatan (LCK), dan Cina (LPL). 

Tak jauh berbeda dari VALORANT, Riot menerapkan format liga LoL di tahun ketiga kompetisi profesionalnya. LoL sendiri dirilis pada tahun 2009 dan format liga dijalankan mulai tahun 2012. Format franchise barulah diterapkan beberapa tahun kemudian. LPL menjadi liga pertama yang mengumumkan perubahan formatnya untuk diterapkan di tahun 2018, disusul dengan LCS, LEC (2019), dan terakhir adalah LCK (2021).

Seperti yang telah disebut di pembahasan sebelumnya, untuk bisa bergabung ke liga LoL, sebuah tim harus membayar sejumlah uang. Contohnya di awal pembuatan franchise LCS, Riot memasang tarif US$10 juta untuk tim terpilih dan US$13 juta untuk “tim baru”. Sekarang, uang yang harus dibayar tentu akan lebih besar karena tim yang ingin bergabung harus membeli slot dari tim yang sudah ada di liga bersangkutan.

Bisa dibilang, penerapan format franchise di kompetisi LoL lebih terlihat matang dibanding dengan VALORANT. LoL sudah memantapkan diri sebagai game esports sejak tahun 2009, sementara VALORANT masih anak baru di industri ini. Keberlangsungan hidup dari LoL yang sampai sekarang belum padam tersebut membuat format franchise terlihat lebih “masuk akal” untuk digunakan.

Memengaruhi motivasi juara sebuah tim?

Salah satu hal yang mengkhawatirkan dari format baru VCT ini adalah tidak adanya sistem degradasi. Itu berarti, kalian bakal menyaksikan pertandingan dari 10 tim (plus satu tim di 2024) terpilih dalam beberapa tahun ke depan. Kemeriahan dan keseruan sebuah liga tentunya juga akan berbeda di setiap wilayahnya. Kemungkinan bahwa ada satu tim yang mendominasi di satu regional besar terjadi.

Well, pemandangan tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang kita lihat di tahun 2022 ini. Tak perlu jauh-jauh ke Amerika Utara, di APAC ada Paper Rex dan XERXIA yang mendominasi regional tersebut. Keduanya berhasil mengikuti tiga turnamen internasional yang diadakan Riot tahun ini.

PRX
Sumber: VALORANT Champions Tour

Meski begitu, di sistem saat ini, kemenangan tetap menjadi tujuan utama sebuah tim dalam meraih kesuksesan. Tim masih punya motivasi untuk mencapainya, dimulai dengan mengganti roster serta staf kepelatihan. Beberapa tim telah membuktikan keberhasilan lewat perubahan tersebut, salah satunya adalah 100 Thieves yang berhasil menjadi juara LCQ NA 2022.

Dengan tidak adanya sistem degradasi, tim terpilih bisa saja melakukan usaha seminimum mungkin untuk sekadar berkompetisi. Kemenangan dapat menjanjikan pemasukkan yang lebih besar, namun kekalahan tidak akan membuat mereka tersingkir dari Pro League. Meski masih sebuah asumsi belaka, kekhawatiran bahwa hal tersebut bakal terjadi tidak dapat dihilangkan dari pikiran kita.

Lebih banyak kekhawatiran

Selain tidak adanya biaya masuk dan stabilitas finansial yang diberikan, kami kesulitan untuk menemukan sisi positif di sistem franchise VCT ini. Dalam video pengenalan VCT 2023, perwakilan dari Riot mengklaim bahwa mereka masih ingin memberikan spotlight bagi pemain berpotensi. Namun, dengan tidak banyaknya peluang untuk tim tier kedua menunjukkan kemampuan mereka di turnamen internasional, klaim tersebut justru menjadi tanda tanya besar.

Tim di Pro League memang bisa merekrut pemain berpotensi tersebut untuk memberikan panggung kepada mereka, akan tetapi, masalah baru kemudian muncul. Seperti halnya sebuah klub sepakbola besar membeli pemain terbaik dari tim kecil, jarak kekuatan kedua tim tentu akan semakin terasa. Lebih parahnya lagi, Pro League tidak punya sistem degradasi. Tim yang kuat akan semakin kuat dan selamat berjuang bagi tim yang lebih “lemah”.

Intinya, kami memiliki lebih banyak keraguan di sistem baru ini. Hal-hal lain seperti berkurangnya cerita Cinderella, mundurnya sejumlah organisasi esports dari VALORANT karena tak terpilih sebagai mitra, kualitas dari tim tier dua, dan lain sebagainya dapat memengaruhi masa depan dari VCT itu sendiri.
Terlepas dari itu semua, kami masih sangat berharap bahwa format baru VCT ini berjalan sukses dan bertahan lama hingga beberapa tahun ke depan. VALORANT punya potensi besar di dunia esports untuk menjadi lebih baik lagi. Sungguh disayangkan jika perubahan tersebut justru menghancurkannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *